Minggu, 29 Juli 2012
Selasa, 24 Juli 2012
Misteri Uang Dibalik Pelayanan BPN Kota Pematangsiantar
Oleh :Sutrisno Dalimunthe
Pematangsiantar, Konstruktif-Dibalik pelayanan yang dilakukan pihak Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kota Pematangsiantar, ternyata memiliki misteri. Betapa tidak, sebab segala urusan berbentuk
uang tunai, menjadi pengaruh dalam memperlancar urusan di Kantor yang mengurusi
tanah tersebut. Hal ini disampaikan Boru Siahaan, warag Jalan Bah Bolon Kiri,
Kelurahan Sigulang-gulang, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematangsiantar, Jumat
pekan lalu (13/7), di kediamannya.
Dalam penuturan, Boru Siahaan
mengatakan kalau pihak BPN baru melakukan pengukuran di tanah pekarangan
halaman rumahnya. Kedatangan para petugas BPN ini pun, akunya diluar
sepengetahuan. Sehingga kedatangan pihak
BPN, diindikasi telah menerima “uang pelicin”, karena
tanpa pemberitahuan, sementara tanah yang diukur sedang dalam konflik.
Dikatakan Boru Siahaan tanah sedang dalam konflik, karena tanah diukur
atas instruksi sepihak, bukan atas persetujuan seluruh keluarga. Intsruksi
tersebut juga berasal dari pihak cucu, bukan dari pihak anak atau dirinya
sebagai istri pemilik tanah.
“Mereka pingin memiliki tanah ini, makanya pihak BPN Pematangsiantar
dilibatkan dalam melakukan pengukuran untuk pembuatan Sertifikat Tanah. Kita
curiga kenapa secepat itu pihak BPN menindaklanjuti, sementara kita ketahui
cucu Saya datang, bersamaan hari dilakukan pengukuran. "Ada apa ini, kita kan
jadi curiga lihat BPN,” kata Ibu Siahaan yang telah menjanda tersebut.
Seharusnya, lanjut Boru Siahaan, pihak BPN melakukan penelusuran terlebih
dahulu, atas tanah yang akan diukur. Bukan semena-mena, tanpa permisi
atau pamitan. Lebih ironisnya lagi, tidak ada sedikit pun dilakukan komunikasi
pada kita, atas dasar apa dilakukan pengukuran tanah.
Saat dilakukan pengukuran, lanjutnya, kedatangan pihak BPN didampingi oleh
pihak aparat Kepolisian di jajaran Polresta Pematangsiantar. “Bayangkanlah,
sudah tidak ada pemberitahuan, tiba-tiba datang bawa polisi. Seolah-olah kita
penjahat yang mau ditangkap,” ujar boru Siahaan dengan wajah berang.
Saat ditanya, apa yang dilakukan pihak aparat Polisi yang mendampingi pihak
BPN tersebut, boru Siahaan yang sudah menjalani usia lanjut ini, mengatakan
pihak polisi hanya sebatas menemani tanpa tindakan apapun.
Disinggung kenapa tanah tersebut dalam status konflik , Boru Siahaan
menjelaskan, berawal dari keingginan pihak cucu, dari keturunan istri, sebelum
dirinya menjadi pendamping pria bermarga Simanjuntak, sebagai suaminya.
“Saya udah istri ke tiga, sementara ada dua sebelum Saya. Namun yang dua tersebut
sudah meninggal. Jadi Saya istri pengganti. Pihak keturunan istri sebelum Sayalah,
yang saat ini berambisi memiliki tanah dan rumah yang saat ini Saya
tempati,” ungkap Boru Siahaan mengisahkan.
Selanjutnya boru Siahaan, ibu dari dua anak hasil pernikahannya dengan pria
marga Simanjuntak, ini mengatakan kalau pun ada niat pihak anaknya, dari keturunan istri
sebelum, memiliki rumah dan tanah tersebut, harus dirembukkan dengan
semua pihak keluarga. “Ini tidak main serobot saja. Aku kan masih
ada,” Kata boru Siahaan.
Apa yang dikatakan boru Siahaan tentang kedatangan pihak BPN Kota
Pematangsiantar melakukan pengkuran, mendapat pengakuan dari Kepala
Seksi Pengukuran BPN Kota Pematangsiantar,
Andi, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pengukuran di halaman rumah
miliki boru Siahaan. Perkataan Andi ini, dikatakan saat dikonfirmasi di
ruangan kerjanya, Senin pekan lalu (16/7).
Adapun dilakukan pengukuran oleh pihak BPN, menurut Andi, karena adanya
permohonan atas nama Gloria, warga Kota Medan. Atas permohonan tersebutlah, aku Andi, pihak
langsung terjung melakukan pengkuran.
Saat ditanya sebelum melakukan pengukuran, apakah pihak BPN terlebih dahulu melakukan penelusuran
terhadap permohonan diajukan, Andi
mengatakan bahwa pemohon sudah
melampirkan bukti hak alas (kepemilikan-red). “Inilah dasarnya,” kata Andi.
Saat ditanya, kenapa pihak BPN langsung melakukan pengukuran, sementara
berkas permohonan baru masuk pada hari itu juga, tidak seperti kenyataan yang
dilihat, tiga bulan sejak permohonan masuk, BPN belum tentu
menindaklanjuti. Andi berkilah, dengan alasan keterbatasan waktu yang dimiliki bawahannya. “Kalau
semua pada sibuk, gimana mau langsung ditindak lanjuti,” kilah Andi.
Jika ada permohonan masyarakat, lama
mendapat tindak lanjut pihak BPN, menurut Kepala Seksi berjenis kulit sawo
matang, itu karena berkas permohonan yang diajukan belum lengkap bukti hak
alasnya.
Saat disinggung jika dalam keadaan konflik, apakah pihak BPK
tetap menindaklanjuti serta melakukan pengkuran, Andi mengatakan tidak akan
menindaklanjuti permohonan, termasuk untuk melakukan pengukuran.
“Kalau untuk warga di Jalan Bah Bolon kiri yang pernah kita lakukan
pengukuran, kami tidak mengetahui kalau status tanah dan rumah yang ditempati
dalam keadaan konflik. Kalau kita mengetahui itu masih dalam
keadaan konflik, kami tidak akan menindaklanjuti permohonan ibu Gloria,” kata
Andi yang enggan berita dan foto dirinya dikorankan.
Menanggapi pelayanan yang dilakukan pihak BPN, Agus Butarbutar SH, Aktivis
gerakan rakyat di bidang agraria, mengatakan kalau pihak BPN sering “tebang
pilih” dalam menindak lanjuti permohonan warga. Hal ini dikuatkan Agus, dengan
pengalaman dirinya saat mendampingi warga mengurus pembuatan Sertifikat Tanah,
bahwa hampir 2 bulan sejak dimasukkan permohonan, pihak BPN menanggapi dan
menindaklanjuti. Padahal tanah tersebut tidak dalam konflik.
Kenapa sampai begitu lama pihak BPN menindaklanjuti permohonan, Agus pun
tidak mengetahui persis apa yang menjadi sebabnya. “Kita tidak tau persis,
karena tidak alasan yang jelas disampaikan oleh pihak BPN, tapi selalu
mengatakan sabar dulu,” ungkap Agus.
Saat ditanya, apakah pihak BPN meminta biaya tambahan, disamping biaya yang
telah ditetap oleh pemerintah, Agus mengaku bahwa pihak BPN tidak ada meminta
biaya tambahan, tapi tidak dipungkirinya, pihak BPN lama dalam menindak lanjuti
permohonan warga, perlu diberi “uang pelicin”. “Kalau kita beri pasti cepat
ditindak lanjuti,” kata Agus dengan nada sedikit bercanda.(K-43)
Jumat, 20 Juli 2012
Memahami Fenomena MANUSIA KEPITING - Lobster Claw Syndrome
Hal langka dan bisa dibilang cukup aneh terjadi di salah satu
daerah di Dusun Ulutaue, Bone, Sulawesi Selatan, dimana warga kampung tersebut
mempunyai keanehan yang tidak umum dimiliki manusia (secara fisik).
Rata-rata manusia pada umumnya terlahir dengan dua tangan,
dan memiliki lima jari di setiap tangan maupun kaki. Di Dusun Ulutaue, Bone,
Sulawesi Selatan, penduduknya terlahir dengan jari-jari kaki dan tangan mereka
terbelah menjadi dua hingga sekilas tampak seperti capit kepiting.
Berikut ini kutipan pemberitaan salah satu media di Indonesia
:
Aneh, Hampir Semua Warga Ulutaue Berjari Hanya Tiga
Hampir semua warga Dusun Ulutaue, Desa Mario, Kecamatan Mare,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, kebanyakan cacat. Warga mengalami kelainan
fisik, yakni berjari hanya tiga, baik kaki maupun tangan. Kelainan ini dialami
warga pada semua golongan usia, dari bayi hingga lanjut usia. Umbang, salah
seorang sesepuh kampung yang ditemui Kompas.com, mengatakan, kelainan fisik itu
sudah terjadi turun-temurun. Mereka bahkan sudah pasrah karena meyakini bahwa
yang mereka alami itu sudah digariskan nenek moyang.
"Ini sudah keturunan, mulai dari nenek kami begini
semua. Keturunan kami yang lahir pasti begini semua. Walaupun ada yang normal,
tetapi kalau ada anaknya, begini juga tangannya," kata Umbang. Di tengah
keterbatasan itu, warga Dusun Ulutaue tetap menjalani kegiatan sehari-hari
sebagai nelayan. Sebagian besar hidup miskin. Mereka juga cenderung menutup
diri dari dunia luar.
Mereka mengaku selama ini tidak mendapat perhatian dari
pemerintah setempat. Belum ada layanan kesehatan, apalagi penelitian medis
terkait kondisi turun-temurun yang mereka alami itu. Kurangnya perhatian
itu dikeluhnya warga. "Kalau memang mau, mestinya pemerintah datang
menyembuhkan kami. Katanya ini penyakit gen, tetapi mana buktinya sampai
sekarang mereka tidak datang perhatikan kami," kata Ahmad, warga
setempat.(KOMPAS.com/Abdul Haq)
Manusia merupakan salah satu dari berbagai spesies di muka
Bumi. Secara biologis manusia menggunakan daya penggerak bipedalnya dengan dua
kaki. Dengan adanya kedua kaki untuk menggerakan badan, kedua tungkai depan
dapat digunakan untuk memanipulasi obyek menggunakan jari jempol (ibu jari).
Adapun juga manusia terlahir dengan kondisi (maaf) fisik yang berbeda dan
disebabkan oleh faktor genetis keturunan. Ada kasus serupa yang terjadi menimpa
seorang anak gadis bernama Hee Ah Lee yang merupakan seorang pianis Korea
Selatan dan menjadi perhatian dunia dengan permainan pianonya di tengah
keterbatasan fisik yang dia miliki. Hee Ah Lee merupakan penderita sindrom
down, dan dengan kedua tangan yang hanya memiliki empat jari.
|
Lahir tahun 1985 dari seorang ibu bernama Woo Kap Sun,
seorang ibu yang mencintai anak perempuannya sepenuh hati, meski dari sejak
dalam kandungan dia mengetahui kalau anaknya akan lahir dengan kecacatan. Dia
juga terlahir dengan kaki hanya sebatas lutut hingga tidak dapat menginjak
pedal piano standar. Untuk itu, pedal sengaja ditinggikan agar bisa diinjak
oleh kakinya yang pendek. Dengan kondisi serba terbatas itu, Hee Ah Lee menyebutnya
sebagai, "Special gift, anugerah spesial dari Tuhan." Ia bisa
memainkan Piano Concerto No 21 dari Mozart bersama orkes simfoni. Ia mendapat
sederet penghargaan atas keterampilan bermain piano dan membawanya berkeliling
dunia, termasuk bermain bersama pianis Richard Clayderman di Gedung Putih,
Washington, Amerika Serikat.
Hee Ah Lee melakukan konser piano tunggal di Balai Kartini,
Jakarta pada tahun 2007.Konser tersebut bagian dari program tur Hee Ah Lee ke
beberapa negara di Asia Tenggara, dan dalam penampilannya di Indonesia, Hee Ah
Lee membawakan musik klasik karya-karya komposer besar, seperti Chopin,Franz
Schubert, Mozart, dan beberapa lagu pop seperti My Heart Will Go On, Love Story
serta My May.
Saya menghargai adanya Legenda dan Mitos yang beredar dibalik
history dari dusun Ulutaue, Bone, Sulawesi Selatan akan tetapi mari
kita lihat dari kacamata medis.
Bagi anda yang mungkin kebingungan dengan istilah Manusia
Kepiting, Nah, dalam dunia medis Kelainan jari tangan seperti ini disebut lobster claw syndrome atau Ectrodactyly,
berbentuk seperti capit, tanpa telapak tangan.
Lobster Claw Syndrome - Ectrodactyly
Ectrodactyly, juga dikenal sebagai Sindrom Lobster Claw atau Syndrome malformasi Kaki Tangan ini terdiri dari jari tengah atau jari kaki yang hilang. Tangan orang penderita Ectrodactyly umumnya seperti capit dan bahkan ada juga hanya satu buah jari. Ectrodactyly atau Lobster Claw Syndrome dapat disebabkan oleh mutasi kromosom 7 dan genetik. Mutasi Kromosom 7 juga dapat menyebabkan kondisi seperti gangguan pertumbuhan, hernia, dan gangguan pendengaran. Karena itu, Ectrodactyly atau Lobster Claw Syndrome biasanya terjadi bersama dengan kelainan fungsi indera lainnya.
Hal
serupa juga ternyata yang menimpa penduduk yang berada di dusun Ulutaue, Bone, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun,
kelainan ini dibawa dan disebabkan adanya faktor genetis pembawa keturunan
dari mutasi kromosom 7. Untuk penyembuhan harus melalui jalur medis
dengan melakukan operasi atau juga bisa diakali dengan menggunakan bantuan
tangan atau kaki palsu. Disinilah letak kebesaran Sang Pencipta, dibalik kekurangan
yang ada, Dia melimpahkan talenta dan berkat bagi manusia. Dibalik kekurangan
yang ada, para penderita Ectrodactyly atau Lobster Claw Syndrome seperti Hee Ah Lee masih bisa berkarya, begitu juga
warga dusun Ulutaue, Bone,
Sulawesi Selatan juga memiliki warga yang terampil dan cekatan.
Intinya disini adalah dimana letak kepedulian pemerintah
terhadap warganya yang jelas-jelas membutuhkan perhatian lebih bagi
warga dusun Ulutaue, Bone, Sulawesi Selatan... ?
MENUJU AKUNTABILITAS PEMILU 2009 Oleh : Daulat Sihombing, SH[1] (1)
Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Pasal 21 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil – wakilnya yang dipilih secara bebas. Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan hak setiap orang untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintah (publik) negerinya.[2] Selanjutnya, ayat 3 menyatakan : “Kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah, kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan – pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas”.[3]
Ayat – ayat ini memuat penegasan tentang azas – azas demokrasi yang sangat penting yakni, pertama, azas kedaulatan rakyat yang harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintah. Kedua, azas kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan kehendak rakyat (expression of the will of the people) melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia.[4]
Pemilu (Pemilihan Umum) dalam persfektif HAM (hak azasi manusia) pada hakekatnya merupakan pelaksanaan hak dasar politik rakyat, yaitu hak untuk ikut serta menentukan arah dan masa depan kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai sarana demokrasi, pemilu akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih dan memberikan landasan keabsahan bagi wakil – wakil mereka yang duduk di parlemen atau pemerintahan .
DUA MODEL DEMOKRASI PERWAKILAN
Dalam model demokrasi perwakilan yang dianut banyak negara di dunia, rakyat melakukan kontrol terhadap pemerintah melalui dua sarana. Pertama, memilih secara langsung wakil – wakil rakyat dalam pemilu. Kedua, secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity), dimana rakyat langsung terlibat untuk pemantauan dan pengawasan kegiatan pemerintah melalui media massa.
Pada demokrasi perwakilan meskipun rakyat telah memilih wakil - wakilnya melalui Pemilu, tetapi tidak berarti bahwa rakyat telah secara absolut menyerahkan hak dan kedaulatannya kepada wakil – wakil rakyat. Karena sesungguhnya hak rakyat yang dikuasakan hanyalah sekadar hak – hak yang berkenaan dengan fungsi – fungsi legislatif. Hak – hak rakyat lainnya untuk mengontrol pemerintah, antara lain hak untuk menyatakan pendapat baik langsung maupun melalui unjuk rasa atau melalui media massa, hak untuk melakukan kontrol atau koreksi terhadap kebijakan pemerintah melalui badan peradilan, tetap sepenuhnya berada di tangan rakyat.[5]
Konsepsi pemilu sebagaimana digambarkan di atas merupakan hal yang paling ideal, namun kenyataannya pelaksanaan pemilu ternyata sangat dipengaruhi oleh struktur politik atau hubungan kekuasaan yang riil di antara kekuatan – kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, sehingga bisa berbeda esensi, tujuan dan teknis pelaksanaannya. Itu artinya, pemilu sebenarnya sangat tergantung pada sistem politik, kultur, cita – cita, kemauan politik dan rezim berkuasa.
Pemilu Legislatif Indonesia, tak lama lagi akan segera berlangsung.
Persisnya, dijadwalkan pada tanggal 9 September 2009. Pemilu memperebutkan kursi DPR Dewan
Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) Propinsi dan DPRD Kota/ Kabupaten. Sesuai keputusan KPU (Komisi
Pemilihan Umum), Pemilu 2009, akan diikuti sebanyak 34 partai politik
(Parpol).
Berbagai pihak sangat berharap, kampanye Pemilu yang telah dimulai sejak
Sabtu tanggal 12 Juli 2008, dapat menjadi ajang bagi Parpol untuk melakukan
sosialisasi sekaligus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar Pemilu menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin
yang absah dan berkualitas. Namun di
tengah – tengah maraknya pejabat eksekutif maupun legislatif, yang ditangkap
dan diadili dalam sejumlah skandal suap, korupsi dan berbagai bentuk
penyalahgunaan jabatan maupun kekuasaan,
diperkirakan akan membuat Pemilu 2009 berlangsung dalam apatisme dan
sinisme masyarakat yang tinggi.
Tingginya angka golput (golongan putih) alias warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada di sejumlah kota/ kabupaten maupun propinsi di berbagai wilayah Indonesia, merupakan realitas yang tidak boleh diremehkan. Menurut Denny JA, Direktur Lembaga Survey Indonesia, tingkat rata – rata golput dalam Pilkada Indonesia sebesar 45%.[6]
Selain menjadi barometer untuk mengukur kepercayaan dan keabsahan politik, golput menjadi ancaman paling serius dalam prospek perumusan kebijakan negara. Soalnya partisipasi politik warga berkaitan dengan sistem perumusan kebijakan negara. Semakin tinggi partisipasi publik maka semakin tinggi ekspektasi untuk perubahan kebijakan publik yang lebih akomodatif. Sebaliknya, semakin kecil partisipasi publik, maka semakin kecil pula ruang untuk perubahan kebijakan publik.
BEBERAPA MASALAH KRUSIAL
Berdasarkan penelitian JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat),
secara mendasar terhadap pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah Indonesia, maka
setidaknya ada 4 (empat) masalah krusial yang diidentifikasi menjadi ancaman
potensil pada pemilihan umum tahun 2009, yakni :[7]
1. Persoalan
administrasi
Persoalan administrasi pelaksanaan pilkada, lazimnya
meliputi status hukum pilkada, tarik menarik penyelenggara pilkada, sampai pada
sengketa pemenang pilkada. Hampir setiap
tahapan pilkada memunculkan perdebatan, silang pendapat dan ketidakpuasan, yang
pada akhirnya mengganggu proses – proses pilkada dan mengurangi derajat
kualitas pelaksanaan pilkada. .
2. Rendahnya
partisipasi warga
Partisipasi politik sebagai bentuk apresiasi pemilihan
secara langsung dalam pilkada telah mengalami degradasi yang paling serius.
Pilkada November 2005 di Blitar, Jawa Timur, menunjukkan 46% pemilih tidak
menggunakan hak pilihnya. Rendahnya partisipasi ini disebabkan dua faktor;
teknis dan nonteknis. Persoalan teknis disebabkan lemahnya sistem administrasi,
seperti mekanisme dan prosedur. Persoalan nonteknis merupakan bentuk
ketidakpercayaan warga terhadap proses pilkada, sehingga secara sadar warga
memutuskan sikap politiknya untuk tidak memilih.
3. Money politik
Fenomena money politik hampir terjadi setiap tahapan
pilkada. Kecenderungan ini dapat disimak dari proses awal sampai pada tahapan
pemungutan suara. Kasus money politik melibatkan semua elemen. Mulai dari
kandidat, partai politik, tim sukses, KPUD, penyelenggara di level kecamatan
dan desa serta pemilih. Dalam money politik yang berlangsung secara terbuka,
semua pelaku seakan memiliki pola “permainan” sendiri – sendiri. .
4. Akuntabilitas
calon
Hakekat dari pilkada adalah melahirkan pemimpin yang
berkualitas dan dipilih langsung oleh rakyat. Namun harapan itu seperti panggang
jauh dari api. Pemilih ternyata tidak menggunakan rasionalitas dalam memilih,
tetapi cenderung pragmatis dengan janji-janji yang bersifat materi dan kemudian
diperparah oleh kandidat yang juga lebih pragmatis ketika berusaha memperoleh
kemenangan dengan mengandalkan uang. Mereka tidak memiliki visi dan misi, hanya
maju dengan modal uang dan berharap “membeli” partai politik dan pemilih
pragmatis. Maka tak heran, menurut catatan Kompas, 32 % pemenang Pilkada 2005
berlatar belakang pengusaha. Pemilih cerdas dan kritis yang mengetahui kandidat
tidak memiliki kapasitas dan akseptabilitas yang memadai, lebih memilih golput.
Mereka tidak percaya dengan pilkada, karena para kandidat yang muncul tidak
memiliki integritas moral dan intelektual.
Kandidat yang tidak mempunyai integritas, tidak mudah
menerima kekalahan. Kekecewaan para kandidat sering berujung pada ketidakpuasan
dan kekerasan yang melahirkan berbagai bentuk anarkhisme. Kualitas dari
kandidat tidak hanya terlihat pasca hari “H”. Pada tahapan verifikasi calon dan
kampanye, kandidat yang tidak memiliki kapasitas akan menghalalkan segala cara
untuk keluar sebagai kandidat dan menjadi pemenang.
Inilah “pekerjaan rumah” bagi KPU.
Sebagai institusi penyelenggara pemilu, KPU, sangat diharapkan mampu memberikan
respons untuk mengeliminir berbagai persoalan krusial pemilu yang mengemuka,
sekaligus menjamin terwujudnya demokrasi sesuai konsepsi ideal, yakni “luber”
(langsung, umum, bebas dan rahasia) dan “jurdil” (jujur dan adil), agar pemilu
sungguh – sungguh memberikan basis legitimasi terhadap kekuasaan negara atau
pemerintahan. (BERSAMBUNG)
Medan, 27 Agustus 2008.
DAULAT SIHOBING, SH
MENUJU AKUNTABILITAS PEMILU 2009
Oleh : Daulat Sihombing, SH (2)
====================================================
KPU DAN MISI
PENGUATAN DEMOKRASI
Dalam konsepsi demokrasi, semakin
tinggi partisipasi masyarakat pada suatu pemilu, maka semakin tinggi pula
indeks demokrasi. Namun, partisipasi
politik masyarakat yang tinggi, tidaklah semata – mata dalam pengertian kuantitas, tetapi juga
kualitas. Para pakar politik berpendapat, kualitas partisipasi ditentukan oleh
dua faktor. Pertama, kesadaran masyarakat akan civil responsibility, yakni
tanggungjawab kewarganegaraan rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Kedua, citra masyarakat terhadap pemilu itu sendiri, dalam arti seberapa jauh
masyarakat percaya bahwa pemilu merupakan medium untuk mengajukan aspirasi,
untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.[8]
Di lihat dari sisi ini, pemilu sesungguhnya
sangat identik dengan proses pembaruan politik, dimana rakyat terus – menerus
memperbaharui berbagai segi kehidupan politik, termasuk memperbaharui
personalia penyelenggara kekuasaan negara dan pemerintahan. Pada kebanyakan negara – negara demokratis,
pemilu malah identik dengan regenerasi atau suksesi secara berkala, yang
memungkinkan tampilnya personalia baru dalam formasi kepemimpinan nasional,
yang lebih segar dan lebih tanggap terhadap aspirasi – aspirasi baru.
Dengan lain kata, pemilu yang
demokratis akan melembagakan proses dan mekanisme suksesi secara berkala, yang
berlangsung secara tertib dan damai. Sebaliknya bila pemilu tidak mampu
melembagakan mekanisme suksesi secara tertib dan damai, yang dikuatirkan ialah
terjadinya perebutan kekuasaan melalui jalan kekerasan atau kudeta.[9]
Dalam kontes demikian KPU sebagai
institusi penyelenggara pemilu, dituntut mampu melahirkan pemilu yang sungguh-
sungguh mencerminkan keinginan atau
aspirasi mayoritas rakyat, yang kemudian menjadi basis legitimasi kekuasaan
legislatif maupun pemerintahan. Harapan ini
cukup berdasar mengingat Undang – Undang No. 22 Tahun 2007, tentang
Penyelenggara Pemilu, merumuskan adanya
5 (lima) tugas KPU, yakni :[10]
1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilu yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilu.
2. Menyelenggarakan Pemilu untuk Anggota DPR, DPD, dan DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota, Presiden dan Wapres, serta KDH dan Wakil KDH, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab.
3. Meningkatkan mutu penyelenggaraan Pemilu yang bersih, efisien dan efektif.
4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilu secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilu secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu demi terwujudnya cita – cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
PENDIDIKAN POLITIK DAN
TUGAS PARPOL
Selain KPU, Undang – Undang No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik,
memberikan tugas dan tanggungjawab pencerahan demokrasi pada Parpol. Dalam sistem politik, parpol menjalankan
beberapa fungsi yakni : fungsi sosialisasi politik, artikulasi kepentingan,
agregasi kepentingan, komunikasi politik dan rekrutmen politik.[11]
Ironi sekali, pengalaman demokrasi Indonesia setidaknya 10 tahun pasca
reformasi, tugas pencerahan politik secara masif kepada masyarakat ternyata
tidak dapat diandalkan kepada Parpol. Malah
menurut Josef Christofel Nalenan, Manajer Riset dan Pengembangan JPPR,[12] sejak dahulu Parpol di Indonesia tidak
menjalankan fungsi - fungsi pendidikan politik, komunikasi politik dan penengah
konflik. Parpol hanya berperan sebagai alat pencari dan mengakumulasi kekuasaan
belaka. Karena itu walaupun Parpol diwajibkan melakukan pendidikan politik
tetap saja tidak ada tanda – tanda Parpol memiliki program terencana untuk
melakukan pendidikan politik.
Aktor yang secara intensif melakukan pendidikan politik kepada rakyat,
kata Josef Christofel Nalenan, justru adalah organisasi masyarakat sipil
(Ornop/ LSM) atau masyarakat civil society yang secara teratur mengorganisir
proses – proses penyadaran politik dan demokrasi, tanpa tergantung pada agenda
– agenda elit pemerintahan.[13]
REKOMENDASI PENGUATAN
KPU
Berdasarkan ekplorasi JPPR sebagaimana telah dikonstatir dalam
penelitiannya, maka untuk penguatan institusi KPU menyongsong Pemilu 2009, dapat
diurai dari benang kusut persoalan
administrasi, fenomena golput, fenomena money politik hingga ke persoalan
akuntabilitas kandidat. Untuk persoalan
administrasi, KPU dapat memulai dari pemutakhiran sistem, mekanisme, dan
prosedur administrasi tentang pelaksanaan pemilu, berdasarkan umpan balik (feed back) yang telah disampaikan kepada KPU. Asumsinya apa yang
menjadi persoalan administrasi pada pemilu sebelumnya tidak terulang lagi dalam
pemilu 2009.
Terhadap persoalan kedua yakni fenomena golput, hendaknya sejak dini KPU memiliki
desain kerangka operasional untuk mengorganisir dan mendinamisir proses pendidikan
dan penyadaran politik warga dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Mengingat rendahnya partisipasi politik
masyarakat berkorelasi kuat dengan tingkat kepercayaan publik terhadap pemilu,
maka langkah ini hendaknya tidak dipahami secara parsial. Tetapi perlu langkah paralel
untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi KPU, dengan cara pembersihan KPU dari praktek suap,
korupsi atau money politik, sehingga keputusan KPU benar – benar dapat
merepresentasikan kehendak masyarakat luas.
Persoalan ketiga, gejala money politik. Secara internal, KPU harus membersihkan
diri dari praktek money politik, yang lazim terjadi dalam proses
verifikasi kandidat dan penggelembungan
suara pasca pemungutan suara. Banyaknya
skandal ijazah palsu, penggelembungan suara maupun gugatan publik tentang
integritas para kandidat di KPU, menjadi persoalan yang potensil untuk mendegradasi
pemilu dan pada akhirnya secara siklus
akan menyumbang suburnya golput. Secara eksternal, KPU harus menjadi katalisator
untuk mendorong semua elemen masyarakat menolak money politik. Bahkan lebih
dari itu, KPU dituntut mampu membangun kultur anti money politik. Untuk itu, KPU
perlu memikirkan satu sistem yang dapat mengantisipasi sekaligus memberantas
praktek anti money politik. Konkritnya KPU secara internal dapat membuat kode
etik KPU.
Pada persoalan keempat menyangkut akuntabilitas kandidat. KPU harus
mendorong semua pihak, agar kompetesi politik berlangsung secara rasional dengan
mengedepankan visi, misi dan program. KPU perlu mengembangkan sistem rekrutmen
politik yang menjamin integritas para kandidat, mengingat euforia politik telah cenderung meruntuhkan batasan kewajaran,
moral maupun norma sosial. Sementara
itu, untuk meningkatkan bobot para kandidat, KPU dapat pula membangun budaya debat kandidat. Kegiatan ini selain mendekatkan
para kandidat dengan pemilih, mampu meningkatkan kesadaran politik dari warga
pemilih, mengingat bahwa :
1. Debat kandidat akan menguji para kandidat tentang akuntabilitas dirinya, partainya, hingga latar belakang pecalonan dan agenda yang direncanakannya.
2. Debat kandidat merupakan uji integritas para kandidat, baik secara moral maupun intelektual. Kandidat dapat meyakinkan rakyat dengan pikiran-pikiran konstruktif dan kritis bukan tawaran yang bersifat pragmatis.
3. Debat kandidat menjadi momentum strategis bagi pemilih untuk mengetahui dan menguji kualitas calon pemimpinnya.
4. Debat kandidat merupakan praktek pendidikan politik yang riil di akar rumput, mengingat para pemilih dan kandidat yang akan dipilih bertemu dan saling berdiskusi tentang visi, misi dan program kandidat.
5. Para kandidat secara serius akan mempersiapkan pencalonannya, sebab pada forum debat itu para calon dituntut bersaing dengan visi, misi dan program.
Dalam kaitan demikianlah, institusi KPU harus dikuatkan. Selain memperkuat sistem dan mekanisme pengambilan keputusan yang semakin akuntabel dan demokratis, secara personal KPU pun harus diisi oleh orang – orang yang sungguh – sungguh memiliki track record dan integritas yang teruji tentang nilai – nilai demokrasi, keadilan dan hak azasi manusia.
PENUTUP
Tulisan yang mencoba mengeksplorasi hakekat pemilu, masalah – masalah yang dianggap krusial dan beberapa tawaran konsep untuk solusi peningkatan kualitas dan akuntabilitas Pemilu ini, dikonsumsikan sebagai kontribusi pikiran bagi Tim dan Peserta Seleksi KPU yang tengah berlangsung di beberapa daerah Sumatera Utara. Harapannya, tulisan ini dapat berguna mengeksplorasi pikiran – pikiran kritis yang lebih operasional untuk menuju kepercayaan dan akuntabilitas dan kepercayaan Pemilu 2009. (SELESAI).
Daftar Pustaka :
Aribowo dkk, Mendemokratiskan PEMILU, Elsam, Jakarta,
1996
Irvan Mawardi, Hasil Penelitian tentang Pilkada,
Jakarta, 2008
Manuel Kaisiepo, Pemilihan
Umum : Konsepsi Ideal dan Praktek Pelaksanaannya, Bina Darma, Salatiga,
1996
Perangkat Hak Azasi Manusia, Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, 2001.
Suara Pembaruan, Golput dan Legitimasi Pemimpin, Edisi Selasa
22 April 2008,
Undang – Undang No. 22
Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Medan, 27 Agustus 2008.
DAULAT SIHOMBING, SH
Langganan:
Postingan (Atom)