Adu Gengsi dan Sensasi yang Rawan Bikin
Mati !
Oleh : Niko,
Ulysess, Reynold
Pematangsiantar,Konstruktif-Meski terus dirazia petugas polisi, balapan liar sepeda motor seakan tak pernah berhenti. Padahal, ulah
sekelompok anak-anak muda usia remaja ini sangat beresiko. Disamping juga
sangat membahayakan keselamatan orang lain. Terutama, para pengguna jalan saat
mereka beraksi di jalanan. Seolah, jalan umum itu merupakan milik ‘oppung’ mereka,
sementara pengguna yang lain hanya numpang.
Aksi balapan
liar, ternyata menyisakan masalah lain. Sebab kegiatan tak
bertuan itu rupanya terkait dengan pertaruhan (perjudian),
mabuk-mabukan, kecelakaan dan kegaduhan. Penyalah gunaan jalan
raya sebagai arena balap liar, selain mengganggu kelancaran arus lalu lintas
dan kenyamanan pengemudi lain, juga sangat rawan terjadinya korban jiwa akibat kecelakaaan.
Uniknya, meski sudah banyak yang jadi korban, berikut banyaknya keluhan masyarakat atas sirkuit di jalanan ini, aksi adu nyali ini terus berlanjut. Ironisnya, aksi balap liar yang semakin liar itu kerap menjadi ‘tontonan gratis’ yang mengundang perhatian banyak orang. Jadilah, ajang unjuk gengsi ini pun sarat dengan sensasi yang menjadi tempat pembuktian eksistensi kehebatan para pembalap mengemudikan sepeda motor.
Uniknya, meski sudah banyak yang jadi korban, berikut banyaknya keluhan masyarakat atas sirkuit di jalanan ini, aksi adu nyali ini terus berlanjut. Ironisnya, aksi balap liar yang semakin liar itu kerap menjadi ‘tontonan gratis’ yang mengundang perhatian banyak orang. Jadilah, ajang unjuk gengsi ini pun sarat dengan sensasi yang menjadi tempat pembuktian eksistensi kehebatan para pembalap mengemudikan sepeda motor.
Salah
seorang pelaku balapan liar berinisial Raja (21), warga Jalan DI Panjaitan, Kelurahan Nagahuta, Kecamatan
Siantar Simarimbun, mengaku awalnya tak berniat terjun ke dunia balapan
liar. Hanya sekedar menjadi penonton saja. Tetapi karena terus didesak
teman-temannya, RS pun terpancing dan ikut berlaga di arena sejak tahun 2005 lalu. Saat itu dirinya masih berstatus
pelajar SMA di salah satu sekolah swasta di kota Siantar. “Biasanya kalau kami
balapan, ada taruhannya. Karena masih sekolah, biasanya kami patungan untuk
bisa bayar taruhan. Soal besarnya tergantung situasi,”katanya, seraya meminta
agar identitasnya tak ditulis lengkap.
RS
mengakui, balapan liar itu kerap mereka gelar di seputaran Terminal Bus Tanjung
Pinggir, Jalan Siantar-Parapat sekitar Tugu Cicak sebelum Balata, Jalan Asahan
Km 8, Jalan Medan Seputaran Simpang Rami dan Jalan Sisingamangaraja depan
Universitas Simalungun, Jalan Sutomo dan Jalan Merdeka di pusat kota. Waktunya,
lebih sering dilakukan di sore hari menjelang malam atau pada malam hari hingga
menjelang pagi. “Kalau malam minggu kamai sering balapan sampai pagi,”akunya.
Pelaku
balapan liar menurut RS biasanya berkelompok. “Biasanya satu kelompok terdiri enam
sampai sepuluh orang. Tapi kami hanya balapan saja bang, gak ada melakukan aksi
brutal kayak model geng motor di Jakarta itu. Taruhan kami pun paling-paling
hanya 200 ribu-an,”katanya.
Memang, hobi yang kerap memacu adrenalin
ini bukan dilakukan sebagai mata pencaharian. Tetapi hanya
kesenangan sesaat di jalanan semata.
Pada awalnya banyak diantaranya tidak
memiliki niat bergabung. Tetapi karena
sering menonton temannya
beraksi mereka pun tak sabar dan ingin pula mencoba menerapkannya
di jalan umum.
Pengamatan Konstruktif, para pembalap liar kerap memacu kendaraan
dengan kecepatan tinggi tanpa menggunakan helm.
Sepeda motor yang mereka
gunakan juga terlihat penuh modifikasi. Karena perilaku pembalap liar ini juga
ditopang teknisi bengkel yang pintar mengutak-atik mesin. Sepeda motor dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga bisa dikemudikan lebih kencang dari biasanya. Bila
sepeda motor hasil rekayasa mereka
diketahui pembalap lain sering menang, dipastikan
bengkel tersebut akan kebanjiran pelanggan.
Akibat ulah mereka,
pengendara lain harus ekstra hati-hati. Bahkan harus bersedia berhenti untuk memberikan para
pembalap liar menguasai jalan. Jika tidak, bisa-bisa tertabrak saat mereka beraksi dengan kecepatan
tinggi. Akibatnya,
arus kendaraan pun sering tersendat.
Memang untuk kondisi Pematangsiantar sekitarnya, aksi balapan liar
ini belum mengarah pada aksi brutal. Sebagaimana geng-geng motor di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, yang
kerap menyerang
warga tak bersalah, hingga menyebabkan jiwa orang lain melayang. Namun jika dibiarkan merajalela tanpa kendali, bukan berarti ulah mereka
suatu saat juga bisa lebih parah dari situ.
Kasat Lantas
Polresta Pematangsiantar, AKP H Situmorang, pekan lalu di kantornya mengakui jika
pihaknya sudah terus berusaha menertibkan pelaku balapan liar yang marak di
Siantar. Pelakunya didominasi kalangan pelajar dan remaja. Lewat sosialisasi
dan razia, bahkan melakukan pengarahan langsung ke sekolah-sekolah sudah sering
mereka lakukan. “Dengan sosialisasi dan razia, kita berharap angka laka-lantas
di Pematangsiantar dapat ditekan dan korban pun tidak lagi berjatuhan,”katanya.
Sensasi dan Adu Gengsi yang Meresahkan
Sebelum balap liar dijadikan
sebuah hobi, ada beberapa faktor yang
membuat balap liar di jalan
umum, termasuk
kurangnya perhatian dari keluarga. Maklum, murahnya memeroleh kredit sepeda motor di sejumlah dialer, ikut
memicu kian maraknya aksi di jalanan ini.
Faktor lain yang
muncul diantaranya ketiadaan fasilitas sirkuit untuk balapan yang membuat
pencinta otomotif memilih jalan raya umum sebagai media. Kesenangan dan memacu
adrenalin, bagi
pelaku pembalap liar merupakan sensasi dan adu gengsi. Karena mereka mengaku, ada perasaan yang
luar biasa senang yang
sulit digambarkan
dengan kata-kata ketika
mereka usai
balapan.
Tak pelak,
ulah para aktivis jalanan ini pun kian meresahkan para orang tua. Mereka sangat
khawatir, kalau-kalau anak mereka yang telah difasilitasi sepeda motor ke sekolah,
terlibat dalam aksi balapan. Jony Siagian, warga Pematangsiantar mengakui kegelisahannya
mencermati maraknya aksi balapan liar itu. Diakuinya, dua anaknya
menggunakan sepeda
motor pergi ke sekolah.
Meski
tiap
hari menasehati kedua anaknya agar
tak ikut-ikutan balapan liar, dirinya merasa cemas juga, jika anaknya terlambat
pulang ke rumah. “Jangan
mau ya anakku ikut balapan liar itu, karena tak ada gunanya. Malah balapan itu
miliki resiko tinggi. Bisa-bisa kalian mati atau geger otak karena jatuh saat
balapan,“begitu Siagian meyakinkan anaknya agar tak
terpengaruh.
Tak
hanya orang tua, pihak sekolah pun kerap dibuat ‘jantungan’ melihat pelaku
balap liar ini. Apalagi, pelakunya kebanyakan kelompok pelajar usia SMA/SMK. Kepala
SMK GKPS 2 Pematangsiantar, Menrizitten Purba kepada Konstruktif menegaskan,
pihaknya jauh-jauh hari sudah membuat larangan kepada siswa agar tak turut
dalam balapan liar itu. Tindakan preventif pun kerap mereka lakukan saat
pertemuan pagi hari sebelum masuk ke ruang belajar. Terutama memberikan nasehat
dan pengarahan mengenai bahaya balapan
liar di jalanan.
Tetapi
Menrizten mengakui, tugas mereka hanya memberi arahan saja, itu pun terbatas
hanya di lingkungan sekolah. Usai sekolah, para siswa tentu tak lagi bisa
mereka awasi. “Nasehat dan masukan yang telah diberikan pihak sekolah sangat
terbatas. Jika pada akhirnya mereka terpengaruh juga, kita tak bisa berbuat
banyak. Hanya saja kita berharap, kesadaran masing-masing siswa untuk tidak
turut dalam balap liar itu,”ujar Kasek yang sudah menjabat selama belasan tahun
ini.
Upaya Preventif dan Solutif
Selain
kepolisian, ternyata Dinas Perhubungan (Dishub) pun sudah sering mencoba
menertibkan maraknya aksi balapan liar ini. Kepala Dishub Kota Pematangsiantar,
Drs Naek Lubis mengakui jika aksi balap liar semakin berbahaya dan mengkhawatirkan.
Apalagi aksi balapan yang dilakukan malam hari di pusat kota. “Suara-suara
keras knalpot racing sepeda motor mereka yang tengah balapan di jalan Sutomo
dan jalan Merdeka sangat mengganggu kenyamanan pengguna jalan,”ujar Kadis.
Mengatasi
maraknya balapan liar itu, pihaknya telah beberapa kali melakukan penertiban
terhadap pelaku. Hanya saja, bila Dishub hendak melakukan penertiban terhadap aksi
balapan liar, mereka itu harus berkoordinasi
dengan pihak kepolisian. Tindakan preventif lainnya dilakukan Dishub adalah
dengan memasang polisi tidur dan rambu kejut di sejumlah lokasi yang kerap
dijadikan arena balapan liar.
Tampaknya,
upaya yang dilakukan kepolisian dan Dishub tak cukup. Harus ada pendekatan
yang lebih persuasif untuk bisa menertibkan para remaja yang telah melanggar aturan (norma). Mulai dari
tindakan kecil seperti sanksi sosial, hingga sanksi fisik agaknya
harus diterapkan.Semua pihak juga harus ambil bagian, mulai dari keluarga, sekolah,
lingkungan tempat tinggal, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Simalungun,
Dra.Corry Purba,M.Si, mengakui lembaga pendidikan sebagai agen perubahan perlu
menanamkan pendidikan
karakter kepada peserta didik. Bukan hanya aspek kognitif (rasionalitas), tetapi
juga aspek afektif (apresiasi) dan psikomotorik (tindakan) perlu ditanamkan. Dengan demikian mereka dapat tumbuh secara wajar menjadi
manusia paripurna. Yaitu manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
serta memiliki moralitas dan etika yang dewasa.
Agen sosialisasi berikutnya menurut
Corry Purba adalah media
massa. Sebab publik tahu,
fungsi media (penyiaran) adalah informasi, sosialisasi,
edukasi dan hiburan.
Publik berharap ketika anak duduk di depan layar kaca (televisi), ia akan memperoleh pengetahuan
dan informasi yang bermanfaat sehingga menjadi anak yang profesional religius.
Namun apa yang disuguhkan oleh media (lembaga penyiaran) akhir-akhir ini malah banyak pula yang dibingkai
oleh aksi kekerasan,
pornografi (erotisme) dan mistik
(takhayul) yang malah membuat anak menjadi liar dan brutal. “Mestinya
media massa bisa menjalankan
fungsinya dengan baik, menyehatkan dan berimbang sehingga lahir generasi muda
yang andal dan tidak beringas,”katanya berharap.
Pada bagian lain, meski selama ini telah dilakukan, menurutnya, perlu ditingkatkan sinergitasnya. Partisipasi antara aparat kepolisian dan pemerintah daerah, orang tua, dan stakeholder di bidang pendidikan masih sangat diperlukan. “Mereka harus duduk bersama dan mencari solusi alternatif untuk meminimalisasi, bila perlu menghilangkan kegiatan balapan liar yang sering meresahkan masyarakat, sehingga tercipta harmoni dan rasa aman di masyarakat kita,”katanya mengakhiri. (K-43)
Pada bagian lain, meski selama ini telah dilakukan, menurutnya, perlu ditingkatkan sinergitasnya. Partisipasi antara aparat kepolisian dan pemerintah daerah, orang tua, dan stakeholder di bidang pendidikan masih sangat diperlukan. “Mereka harus duduk bersama dan mencari solusi alternatif untuk meminimalisasi, bila perlu menghilangkan kegiatan balapan liar yang sering meresahkan masyarakat, sehingga tercipta harmoni dan rasa aman di masyarakat kita,”katanya mengakhiri. (K-43)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar