Jumat, 20 Juli 2012

MENUJU AKUNTABILITAS PEMILU 2009 Oleh : Daulat Sihombing, SH[1] (1)


Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Pasal 21 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil – wakilnya yang dipilih secara bebas. Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan hak setiap orang untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintah (publik) negerinya.[2]  Selanjutnya, ayat 3 menyatakan : “Kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah, kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan – pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas”.[3]
            Ayat – ayat ini memuat penegasan tentang azas – azas demokrasi yang sangat penting yakni, pertama, azas kedaulatan rakyat yang harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintah. Kedua, azas kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan kehendak rakyat (expression of the will of the people) melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia.[4]
            Pemilu (Pemilihan Umum) dalam persfektif HAM (hak azasi manusia) pada hakekatnya merupakan pelaksanaan hak dasar politik rakyat, yaitu hak untuk ikut serta menentukan arah dan masa depan kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai sarana demokrasi, pemilu akan memberi kesempatan kepada  rakyat untuk memilih dan memberikan landasan keabsahan bagi wakil – wakil mereka yang duduk di parlemen atau pemerintahan  . 
            
DUA MODEL DEMOKRASI PERWAKILAN
            Dalam model demokrasi perwakilan yang dianut banyak negara di dunia, rakyat melakukan kontrol terhadap pemerintah melalui dua sarana. Pertama, memilih secara langsung wakil – wakil rakyat dalam pemilu. Kedua, secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity), dimana rakyat langsung terlibat untuk pemantauan dan pengawasan kegiatan pemerintah melalui media massa. 
            Pada demokrasi perwakilan meskipun rakyat telah memilih wakil - wakilnya melalui Pemilu, tetapi tidak berarti bahwa rakyat telah secara absolut menyerahkan hak dan kedaulatannya kepada wakil – wakil rakyat. Karena sesungguhnya hak rakyat yang dikuasakan hanyalah sekadar hak – hak yang berkenaan dengan fungsi – fungsi legislatif. Hak – hak rakyat lainnya untuk mengontrol pemerintah, antara lain hak untuk menyatakan pendapat baik langsung maupun melalui unjuk rasa atau melalui media massa, hak untuk melakukan kontrol  atau koreksi terhadap kebijakan pemerintah melalui badan peradilan, tetap sepenuhnya berada di tangan rakyat.[5]         
            Konsepsi pemilu sebagaimana digambarkan di atas merupakan hal yang paling ideal, namun kenyataannya pelaksanaan pemilu ternyata sangat dipengaruhi oleh struktur politik atau hubungan kekuasaan yang riil di antara kekuatan – kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, sehingga bisa berbeda esensi, tujuan dan teknis pelaksanaannya. Itu artinya, pemilu sebenarnya sangat tergantung pada sistem politik, kultur, cita – cita, kemauan politik dan rezim berkuasa. 
Pemilu Legislatif Indonesia, tak lama lagi akan segera berlangsung. Persisnya, dijadwalkan pada tanggal 9 September 2009.  Pemilu memperebutkan kursi DPR Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Propinsi dan DPRD Kota/ Kabupaten. Sesuai keputusan KPU (Komisi Pemilihan Umum), Pemilu 2009, akan diikuti sebanyak 34 partai politik (Parpol). 
Berbagai pihak sangat berharap, kampanye Pemilu yang telah dimulai sejak Sabtu tanggal 12 Juli 2008, dapat menjadi ajang bagi Parpol untuk melakukan sosialisasi sekaligus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar  Pemilu menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang absah dan berkualitas.  Namun di tengah – tengah maraknya pejabat eksekutif maupun legislatif, yang ditangkap dan diadili dalam sejumlah skandal suap, korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan jabatan maupun kekuasaan,  diperkirakan akan membuat Pemilu 2009 berlangsung dalam apatisme dan sinisme masyarakat yang tinggi.
      Tingginya angka golput (golongan putih) alias warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada di sejumlah kota/ kabupaten maupun propinsi di berbagai wilayah Indonesia, merupakan realitas yang tidak boleh diremehkan. Menurut Denny JA, Direktur Lembaga Survey Indonesia, tingkat rata – rata golput dalam Pilkada Indonesia sebesar 45%.[6] 
            Selain menjadi barometer untuk mengukur kepercayaan dan keabsahan politik, golput menjadi ancaman paling serius dalam prospek perumusan kebijakan negara. Soalnya partisipasi politik warga berkaitan dengan sistem perumusan kebijakan negara. Semakin tinggi partisipasi publik maka semakin tinggi ekspektasi  untuk perubahan kebijakan publik yang lebih akomodatif.   Sebaliknya, semakin kecil partisipasi publik, maka semakin kecil pula ruang untuk perubahan kebijakan publik. 

BEBERAPA MASALAH KRUSIAL
Berdasarkan penelitian JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat), secara mendasar terhadap pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah Indonesia, maka setidaknya ada 4 (empat) masalah krusial yang diidentifikasi menjadi ancaman potensil pada pemilihan umum tahun 2009, yakni :[7]

1.         Persoalan administrasi
Persoalan administrasi pelaksanaan pilkada, lazimnya meliputi status hukum pilkada, tarik menarik penyelenggara pilkada, sampai pada sengketa pemenang pilkada.  Hampir setiap tahapan pilkada memunculkan perdebatan, silang pendapat dan ketidakpuasan, yang pada akhirnya mengganggu proses – proses pilkada dan mengurangi derajat kualitas pelaksanaan pilkada. .

2.         Rendahnya partisipasi warga
Partisipasi politik sebagai bentuk apresiasi pemilihan secara langsung dalam pilkada telah mengalami degradasi yang paling serius. Pilkada November 2005 di Blitar, Jawa Timur, menunjukkan 46% pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Rendahnya partisipasi ini disebabkan dua faktor; teknis dan nonteknis. Persoalan teknis disebabkan lemahnya sistem administrasi, seperti mekanisme dan prosedur. Persoalan nonteknis merupakan bentuk ketidakpercayaan warga terhadap proses pilkada, sehingga secara sadar warga memutuskan sikap politiknya untuk tidak memilih.
             
3.         Money politik
Fenomena money politik hampir terjadi setiap tahapan pilkada. Kecenderungan ini dapat disimak dari proses awal sampai pada tahapan pemungutan suara. Kasus money politik melibatkan semua elemen. Mulai dari kandidat, partai politik, tim sukses, KPUD, penyelenggara di level kecamatan dan desa serta pemilih. Dalam money politik yang berlangsung secara terbuka, semua pelaku seakan memiliki pola “permainan” sendiri – sendiri.  .

4.         Akuntabilitas calon 
Hakekat dari pilkada adalah melahirkan pemimpin yang berkualitas dan dipilih langsung oleh rakyat. Namun harapan itu seperti panggang jauh dari api. Pemilih ternyata tidak menggunakan rasionalitas dalam memilih, tetapi cenderung pragmatis dengan janji-janji yang bersifat materi dan kemudian diperparah oleh kandidat yang juga lebih pragmatis ketika berusaha memperoleh kemenangan dengan mengandalkan uang. Mereka tidak memiliki visi dan misi, hanya maju dengan modal uang dan berharap “membeli” partai politik dan pemilih pragmatis. Maka tak heran, menurut catatan Kompas, 32 % pemenang Pilkada 2005 berlatar belakang pengusaha. Pemilih cerdas dan kritis yang mengetahui kandidat tidak memiliki kapasitas dan akseptabilitas yang memadai, lebih memilih golput. Mereka tidak percaya dengan pilkada, karena para kandidat yang muncul tidak memiliki integritas moral dan intelektual.  
Kandidat yang tidak mempunyai integritas, tidak mudah menerima kekalahan. Kekecewaan para kandidat sering berujung pada ketidakpuasan dan kekerasan yang melahirkan berbagai bentuk anarkhisme. Kualitas dari kandidat tidak hanya terlihat pasca hari “H”. Pada tahapan verifikasi calon dan kampanye, kandidat yang tidak memiliki kapasitas akan menghalalkan segala cara untuk keluar sebagai kandidat dan menjadi pemenang.

            Inilah “pekerjaan rumah” bagi KPU. Sebagai institusi penyelenggara pemilu, KPU, sangat diharapkan mampu memberikan respons untuk mengeliminir berbagai persoalan krusial pemilu yang mengemuka, sekaligus menjamin terwujudnya demokrasi sesuai konsepsi ideal, yakni “luber” (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan “jurdil” (jujur dan adil), agar pemilu sungguh – sungguh memberikan basis legitimasi terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan.  (BERSAMBUNG)

Medan, 27 Agustus 2008.


DAULAT SIHOBING, SH











            MENUJU AKUNTABILITAS PEMILU 2009
Oleh : Daulat Sihombing, SH (2)
====================================================

KPU DAN MISI PENGUATAN DEMOKRASI
            Dalam konsepsi demokrasi, semakin tinggi partisipasi masyarakat pada suatu pemilu, maka semakin tinggi pula indeks demokrasi.  Namun, partisipasi politik masyarakat yang tinggi, tidaklah semata – mata   dalam pengertian kuantitas, tetapi juga kualitas. Para pakar politik berpendapat, kualitas partisipasi ditentukan oleh dua faktor. Pertama, kesadaran masyarakat akan civil responsibility, yakni tanggungjawab kewarganegaraan rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Kedua, citra masyarakat terhadap pemilu itu sendiri, dalam arti seberapa jauh masyarakat percaya bahwa pemilu merupakan medium untuk mengajukan aspirasi, untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.[8]
             Di lihat dari sisi ini, pemilu sesungguhnya sangat identik dengan proses pembaruan politik, dimana rakyat terus – menerus memperbaharui berbagai segi kehidupan politik, termasuk memperbaharui personalia penyelenggara kekuasaan negara dan pemerintahan.  Pada kebanyakan negara – negara demokratis, pemilu malah identik dengan regenerasi atau suksesi secara berkala, yang memungkinkan tampilnya personalia baru dalam formasi kepemimpinan nasional, yang lebih segar dan lebih tanggap terhadap aspirasi – aspirasi baru.
            Dengan lain kata, pemilu yang demokratis akan melembagakan proses dan mekanisme suksesi secara berkala, yang berlangsung secara tertib dan damai. Sebaliknya bila pemilu tidak mampu melembagakan mekanisme suksesi secara tertib dan damai, yang dikuatirkan ialah terjadinya perebutan kekuasaan melalui jalan kekerasan atau kudeta.[9] 
            Dalam kontes demikian KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu, dituntut mampu melahirkan pemilu yang sungguh- sungguh mencerminkan  keinginan atau aspirasi mayoritas rakyat, yang kemudian menjadi basis legitimasi kekuasaan legislatif maupun pemerintahan.  Harapan ini cukup berdasar mengingat Undang – Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilu, merumuskan  adanya 5 (lima) tugas KPU, yakni :[10]
1.                  Membangun lembaga penyelenggara Pemilu yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilu.
2.                  Menyelenggarakan Pemilu untuk Anggota DPR, DPD, dan DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota, Presiden dan Wapres, serta KDH dan Wakil KDH, secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab.
3.                  Meningkatkan mutu penyelenggaraan Pemilu yang bersih, efisien dan efektif.
4.                  Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilu secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilu secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5.                  Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu demi terwujudnya cita – cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
 
PENDIDIKAN POLITIK DAN TUGAS PARPOL  
Selain KPU, Undang – Undang No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik, memberikan tugas dan tanggungjawab pencerahan demokrasi pada Parpol.  Dalam sistem politik, parpol menjalankan beberapa fungsi yakni : fungsi sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik dan rekrutmen politik.[11] 
Ironi sekali, pengalaman demokrasi Indonesia setidaknya 10 tahun pasca reformasi, tugas pencerahan politik secara masif kepada masyarakat ternyata tidak dapat diandalkan kepada Parpol.  Malah menurut Josef Christofel Nalenan, Manajer Riset dan Pengembangan JPPR,[12]  sejak dahulu Parpol di Indonesia tidak menjalankan fungsi - fungsi pendidikan politik, komunikasi politik dan penengah konflik. Parpol hanya berperan sebagai alat pencari dan mengakumulasi kekuasaan belaka. Karena itu walaupun Parpol diwajibkan melakukan pendidikan politik tetap saja tidak ada tanda – tanda Parpol memiliki program terencana untuk melakukan pendidikan politik. 
Aktor yang secara intensif melakukan pendidikan politik kepada rakyat, kata Josef Christofel Nalenan, justru adalah organisasi masyarakat sipil (Ornop/ LSM) atau masyarakat civil society yang secara teratur mengorganisir proses – proses penyadaran politik dan demokrasi, tanpa tergantung pada agenda – agenda elit pemerintahan.[13] 
REKOMENDASI PENGUATAN KPU
Berdasarkan ekplorasi JPPR sebagaimana telah dikonstatir dalam penelitiannya, maka untuk penguatan institusi KPU menyongsong Pemilu 2009, dapat diurai dari benang kusut  persoalan administrasi, fenomena golput, fenomena money politik hingga ke persoalan akuntabilitas kandidat.  Untuk persoalan administrasi, KPU dapat memulai dari pemutakhiran sistem, mekanisme, dan prosedur administrasi tentang pelaksanaan pemilu, berdasarkan  umpan balik (feed back) yang telah disampaikan kepada KPU. Asumsinya apa yang menjadi persoalan administrasi pada pemilu sebelumnya tidak terulang lagi dalam pemilu 2009.  
Terhadap persoalan kedua yakni fenomena golput, hendaknya sejak dini KPU memiliki desain kerangka operasional untuk mengorganisir dan mendinamisir proses pendidikan dan penyadaran politik warga dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.  Mengingat rendahnya partisipasi politik masyarakat berkorelasi kuat dengan tingkat kepercayaan publik terhadap pemilu, maka langkah ini hendaknya tidak dipahami secara parsial. Tetapi perlu langkah paralel untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi KPU,  dengan cara pembersihan KPU dari praktek suap, korupsi atau money politik, sehingga keputusan KPU benar – benar dapat merepresentasikan kehendak masyarakat luas.  
Persoalan ketiga, gejala money politik. Secara internal, KPU harus membersihkan diri dari praktek money politik, yang lazim terjadi dalam proses verifikasi  kandidat dan penggelembungan suara pasca pemungutan suara.  Banyaknya skandal ijazah palsu, penggelembungan suara maupun gugatan publik tentang integritas para kandidat di KPU, menjadi persoalan yang potensil untuk mendegradasi pemilu dan  pada akhirnya secara siklus akan menyumbang suburnya golput. Secara eksternal, KPU harus menjadi katalisator untuk mendorong semua elemen masyarakat menolak money politik. Bahkan lebih dari itu, KPU dituntut mampu membangun kultur anti money politik. Untuk itu, KPU perlu memikirkan satu sistem yang dapat mengantisipasi sekaligus memberantas praktek anti money politik. Konkritnya KPU secara internal dapat membuat kode etik KPU.
Pada persoalan keempat menyangkut akuntabilitas kandidat. KPU harus mendorong semua pihak, agar kompetesi politik berlangsung secara rasional dengan mengedepankan visi, misi dan program. KPU perlu mengembangkan sistem rekrutmen politik yang menjamin integritas para kandidat, mengingat euforia politik telah cenderung meruntuhkan batasan kewajaran, moral maupun norma sosial.  Sementara itu, untuk meningkatkan bobot para kandidat, KPU dapat pula membangun  budaya debat kandidat. Kegiatan ini selain mendekatkan para kandidat dengan pemilih, mampu meningkatkan kesadaran politik dari warga pemilih, mengingat bahwa :
1.                  Debat kandidat akan menguji para kandidat tentang akuntabilitas dirinya, partainya, hingga latar belakang pecalonan dan agenda yang direncanakannya. 
2.                  Debat kandidat merupakan uji integritas para kandidat, baik secara moral maupun intelektual. Kandidat dapat meyakinkan rakyat dengan pikiran-pikiran konstruktif dan kritis bukan tawaran yang bersifat pragmatis. 
3.                  Debat kandidat menjadi momentum strategis bagi pemilih untuk mengetahui dan menguji kualitas calon pemimpinnya. 
4.                  Debat kandidat merupakan praktek pendidikan politik yang riil di akar rumput, mengingat para pemilih dan kandidat yang akan dipilih bertemu dan saling berdiskusi tentang visi, misi dan program kandidat. 
5.                  Para kandidat secara serius akan mempersiapkan pencalonannya, sebab pada forum debat itu para calon dituntut bersaing dengan visi, misi dan program. 
 
            Dalam kaitan demikianlah, institusi KPU harus dikuatkan.  Selain memperkuat sistem dan mekanisme pengambilan keputusan  yang semakin akuntabel dan demokratis,  secara personal KPU pun harus diisi oleh orang – orang yang sungguh – sungguh memiliki track record dan integritas yang teruji tentang nilai – nilai demokrasi, keadilan dan hak azasi manusia. 
 
PENUTUP
            Tulisan yang mencoba mengeksplorasi hakekat pemilu, masalah – masalah yang dianggap krusial dan beberapa tawaran konsep untuk solusi peningkatan kualitas dan akuntabilitas  Pemilu ini, dikonsumsikan sebagai kontribusi pikiran bagi Tim dan Peserta Seleksi KPU yang tengah berlangsung di beberapa daerah Sumatera Utara. Harapannya, tulisan ini dapat berguna mengeksplorasi pikiran – pikiran kritis yang lebih operasional untuk menuju kepercayaan dan akuntabilitas dan kepercayaan Pemilu 2009.  (SELESAI). 
 
Daftar Pustaka : 
Aribowo dkk, Mendemokratiskan PEMILU, Elsam, Jakarta, 1996
Irvan Mawardi, Hasil Penelitian tentang Pilkada, Jakarta, 2008
Manuel Kaisiepo, Pemilihan Umum : Konsepsi Ideal dan Praktek Pelaksanaannya, Bina Darma, Salatiga, 1996
Perangkat Hak Azasi Manusia,  Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,  Kantor Perburuhan Internasional,  Jakarta, 2001.
Suara Pembaruan, Golput dan Legitimasi Pemimpin, Edisi Selasa 22 April 2008,
Undang – Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
 
 
Medan,  27 Agustus 2008.
 
 
 
DAULAT SIHOMBING, SH
 
 
 
 
 
                                                   
 


     [1]. Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Medan dan Sekretaris Eksekutif ELTRANS (Lembaga Transformasi Sosial) – LSM Perburuhan, Alamat : Jalan Pertahanan No. 4, Amplas Medan.  
     [2]. Perangkat Hak Azasi Manusia,  Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,  Kantor Perburuhan Internasional,  Jakarta, 2001, Hlm. 23.
     [3]. Ibid, Halaman 24
     [4]. Aribowo dkk, Mendemokratiskan PEMILU, Elsam, Jakarta, 1996, Halaman ix
     [5]. Ibid, halaman x
     [6]. Suara Pembaruan, Golput dan Legitimasi Pemimpin, Edisi Selasa 22 April 2008, Halaman 8.
     [7]. Irvan Mawardi, Hasil Penelitian tentang Pilkada, Jakarta, 2008, Halaman 1-3
      [8]. Manuel Kaisiepo, Pemilihan Umum : Konsepsi Ideal dan Praktek Pelaksanaannya, Bina Darma, Salatiga, 1996, Halaman 10-11.
     [9]. Ibid, Halaman 10.
     [10]. Undang – Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
     [11]. Irvan Mawardi, Opcit, Halaman 11.
     [12]. Ibid, Halaman 3
     [13] .Ibid, Halaman 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar